Penghentian Kasus Bunut Dipertanyakan

Cikole- Penghentian kasus dugaan korupsi penyelewengan dana jasa medis di RSUD R Syamsudin SH sebesar Rp. 6,5 Miliyar oleh Polres Sukabumi Kota, dipertanyakan oleh Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sukabumi.
Menurut Direktur FITRA, Ajat Zatnika yang dari awal mengungkap persoalan tersebut berdasarkan hasil temuan BPK RI tahun anggaran 2013, mengungkapkan kekecewaannya pada pernyataan Kapolres Sukabumi Kota, Diki Budiman dua hari lalu itu. Dirinya menganggap Kapolres tidak membaca dokumen hasil temuan BPK pada kasus tersebut,"Dia (Kapolres) belum membaca dokumennya, karena memang dokumen tersebut tidak boleh diakses oleh mereka (penyidik)," ujarnya.
Jadi, jika persoalan kasus tersebut dihentikan, dirinya mengatakan Polres harus membuat laporan terkait pemberhentian kasusnya. karena dirinya mengaku, sejauh ini belum menerima kabar ataupun hasil dari penyelidikan dari Polres Sukabumi tersebut, "Nanti saya akan minta, karena dari kemarin kami menunggu dari Polres tapi tidak diberikan dan sekarang ini kami sedang menyusun langkah berikutnya, "jelas ajat.
Dirinya berjanji akan mengusut tuntas persoalan tersebut. Menutnya, pimpinan RSUD R Syamsudin SH harus bertanggungjawab terhadap persoalan tersebut. an pihak-pihak berwenang jangan sampai meninggalkan atau tidak memperhatikan hasil audit BPK, karena masih banyak hasil temuan-temuan BPK yang tidak diperhatikan. "Kamipun tak akan meninggalkan begitu saja hasil audit BPK, kita tetap akan perkarakan nanti," tegasnya.
Dirinya berjanji akan terus mendesak pimpinan RSUD untuk tetap bertanggungjawab pada persoalan tersebut dan orang-orang yang seharusnya ikut serta mempertanggungjawabkannya, "Jangan sampai dibiarkan begitu saja, ini kepentingan orang banyak. Seperti raihan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang seharusnya Kota Sukabumi belum layak dan tak berhak mendapatkannya, apalagi tak memperhatikan poin-poin hasil temuan yang sudah ada, "paparnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus dugaan korupsi penyelewengan dana jasa medis di RSUD R Syamsudin SH sebesar Rp. 6,5 miliyar, ternyata sudah dihentikan penyelidikannya oleh Polres Sukabumi Kota. Hal itu mengacu pada hasil laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Informasi yang di himpun Radar Sukabumi dalam hasil perhitungannya, anggaran dana jasa medis tersebut tidak ditemukan adanya kerugian uang negara.
Diki menjelaskan untuk penanggulangan kasus korupsi dirinya tidak ma sembaranagan melakukan penyelidikan. Terbukti atau tidak ada dugaan korupsi, itu tergangtung kepada laporan audit dari BPKP.

Dapat di akses di http://radarsukabumi.com/?p=162739

FITRA Sukabumi dorong percepatan Reforma Agraia

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau FITRA Sukabumi, Jawa Barat, mendorong percepatan reformasi agraria karena kontribusi dari sektor pertanian di Kabupaten Sukabumi terus menurun.
'Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 2012-2013 luas lahan pertanian di Kabupaten Sukabumi terus berkurang yang pada 2012 mencapai 64.599 hektare menjadi 64.027 hektare di 2013 atau berkurang 572 hektare. Bahkan jumlah petani pun terus berkurang, dari 140.383 orang menjadi 124.646,' kata Manager Progam FITRA Sukabumi, Ajat Jatnika di Sukabumi, Sabtu.

Menurut dia, reformasi agraria perlu segera terlaksana, karena dengan semakin berkurangnya lahan pertanian dan jumlah petaniproduk domestik regional bruto (PDRB) dari sektor pertanian menurun Rp6 triliun/tahun dengan laju pertumbuhan 0,44 persen. Jika tidak ada solusinya, maka setiap tahunnya lahan pertanian dan petani akan semakin berkurang karena alih fungsi lahan.
Maka dari itu, dengan adanya reformasi agraria, diharapkan bisa dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Sukabumi, khususnya para petani. Reformasi agraria tersebut salah satunya mencakup penataan kepemilikan dan pemanfaatan pendayagunaan lahan. Sehingga, lahan yang masih tersisa saat ini bisa dipertahankan jangan sampai ada lagi alih fungsi seperti menjadi permukiman maupun industri.
'Namun sayangnya hingga kini isu reformasi agraria tidak pernah masuk dalam agenda perencanaan daerah, atau berbanding terbalik dengan mayoritas warga Kabupaten Sukabumi sebagai petani,' ucapnya.
Ke depannya Fitra Sukabumi juga akan mendorong agar reformasi agraria itu bisa menjadi bahasan di tingkat DPRD dan bisa mengundang Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI untuk bersama-sama memecahkan masalah tentang keagrarian. Selama ini, petani selalu menjadi subjek yang dirugikan dan yang untung hanya tengkulak.(ant/rd).

Dapat di akses di http://www.ciputranews.com/ibu-kota-daerah/fitra-sukabumi-dorong-percepatan-reformasi-agraria

Prona Hanya Bayar Materai dan Balik Nama

Warungkiara - Keluhan masyarakat Desa Sukaharja Kec. Warungkiara terkait biaya yang harus dibayar untuk mendapatkan sertifikat tanah yang masuk dalam Program Nasional (PRONA) mendapatkan tanggapan kementrian agraria dan Tata Ruang Kab. Sukabumi, kemarin (1/5).
Sebelumnya, warga Desa Sukaharja, Kec. Warungkiara mengeluhkan harus membayar Rp. 300 ribu untuk satu sertifikat. Padahal, Prona tersebut merupakan program gratis dari pemerintah untuk masyarakat tidak mampu.
Ketua Bidang P3 Kementrian Agraria dan Tata Ruang Kab. Sukabumi Syamsul Hilal menyatakan, harus ada penyamaan persepsi terlebih dahulu antara panitia kecil di daerah dengan masyarakat penerima manfaat dari prona.
"Bahwa prona ini tidak gratis akan tetapi dibayar oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), "tandas Syamsul hilal kepada Radar Sukabumi kemarin.
Dalam proses untuk mendapatkan sertifikat tanah itu,lanjut syamsul memang ada biaya yang tidak ditanggung oleh APBN. Biaya tersebut antara lain biaya balik nama apabila ada kasus pemilik tanah yang dulu telah berganti  kepada pemilik yang sekarang. Namun urusan administrasinya belum diselesaikan dan juga biaya materai.
"Biaya balik nama dan materai itu tidak ditanggung oleh APBN," tegasnya
Selain itu Syamsul juga mengaku di lapangan ada orang yang tidak miskin dan juga menggarap lahan yang cukup luas, sehingga akibat keberadaan penguasaan lahan itulah yang menjadi masalah dalam prona.
"Kalau ada yang mampu dan memiliki lahan luas itu tidak bisa masuk alam prona. tetapi di lapangan nyatanya memang ada," paparnya.
Syamsul berpesan masyarakat agar berperan aktif dan bersama-sama dalam menyukseskan program tersebut. Namun, panitia kecil di daerah juga harus menyampaikan informasi yang utuh dan dapat di mengerti oleh masyarakat.
"Intinya harus ada transparansi informasi dari panitia kecil," imbuhnya.
Sebelumnya, warga Desa Sukaharja Kec. Warungkiara program yang seharusnya gratis, nyatanya ditarif Rp. 300 ribu per orang dan di duga tidak tepat sasaran.
Seperti yang dikeuhkan warga kampung Sukaharja Rt2/4 Desa Sukaharja Kec. Warungkiara. Ia mengatakan program tersebut tidak sampai kepadanya, padahal dirinya sangat berharap memiliki tanah bersertifikat dari program pemerintah itu.
"Informasinya terlalu singkat, katanya bayar Rp. 300rb bagi kami yang tidak punya uang, dana sebesar itu jelas sangat berat makanya kami tidak bisa ikut, "ujarnya kepada Radar Sukabumi.
Senada dikatakan salah satu Tokoh Masyarakat Sukaharja, Madro'i. Dirinya menilai program sertifikat tanah tersebut tidak tepat sasaran. Lantaran banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bagian terlebih dengan biaya Rp. 300rb.
"Banyak orang yang mampu masuk dalam program tersebut, saya berharap masyarakat miskin bisa ikut serta sebagimana prona itu diperuntukan" harapnya.
Lebih lanjut darinya juga mengkritisi pembayaran yang harus dikeluarkan warga. Terlebih sasaran program tersebut selayaknya diperuntukan bagi masyarakat miskin.
"Kalaupun tetap harus di pungut, seharusnya jangan terlalu mahal. Masyarakat miskin mana mampu membayar Rp. 300rb untuk makan saja sudah susah," kesalnya.
Saat program tersebut digulirkan, dirinya juga tidak mengetahui informasi itu, ia baru mengetahui tetangganya mendapatkan program tersebut. "Seharusnya program itu diinformasikankepada masyarakat miskin, baik langsung atau melalui RT/RW," harapnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Desa Sukaharja Adi Rukhiat membantah  jika pihaknya melakukan pemungutan. Ia mengklaim biaya Rp. 300rb tersebut berdasarkan hasil kesepakatan masyarakat. "Kita tidakmemaksa untuk membayar kepada masyarakat. itu hasil musyawarah dan tealh disepakatai oleh warga," kilahnya.
Saat dalam rapat, masih kata Adi, warga menyepakati biaya yang harus dibayarkan untuk mendapatkan sertifikat tanah itu Rp. 300rb.
"Rp. 300rb itu untuk materai, operasional ke BPN biaya pengisian data dan untuk kebutuhan pengukuran," bebernya.
Sehingga uang Rp. 300rb itu bukan untuk kepentingan kades, melainkan untuk kepentingan warga yang ingin memiliki sertifikat.
"Masyarakat kan tahu terima bersih, kita yang melakukan proses pengurusanya," pungkasnya,

Berita ini dapat di akses di http://radarsukabumi.com/?p=151275