Modus Korupsi Massal Anggota Dewan
Dr. Mulyawan Safwandy N
Direktur Eksekutif FITRA Sukabumi
Korupsi bisa dikatakan telah menjadi
denyut nadi dan nafas kehidupan negeri ini. Sehingga tidak mengherankan jika
popularitas bangsa ini tetap bertahan sebagai bangsa yang terkorup di dunia.
Bagaimana tidak, bahwa setiap dimensi sosial telah menjadi ruang terbuka
manifestasi serta implementasi dari praktik busuk ini. Korupsi bukan menjadi
monopoli bagi penguasa di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif
melainkan telah berubah ke arah milik publik secara luas. Dengan kepemilikan
secara meluas tersebut membuat korupsi mendapat legalisasi dari masyarakat
sehingga upaya pemberantasannya mengalami hambatan dan kesulitan.
Istilah korupsi
berjemaah dalam beberapa waktu terakhir menjadi populer setelah kasus-kasus
korupsi yang melibatkan anggota Dewan diungkap satu demi satu. Namun, di
beberapa tempat seperti Padang, Sumatera Barat, istilah itu oleh sebagian
masyarakatnya dianggap tidak tepat karena kata berjemaah memiliki arti positif
dan bernuansa religi, sementara korupsi selalu berkaitan dengan tindakan nista.
Penolakan itu sendiri dapat diartikan sebagai sikap kritis masyarakat untuk
tidak mencampuradukkan antara tindakan yang benar/positif dan praktek tidak
terpuji (korupsi).
Banyaknya kasus
korupsi DPRD yang dilaporkan dan dibongkar sesungguhnya merupakan sebuah bukti
bahwa masyarakat sudah geram dengan praktik penyalahgunaan kekuasaan. Betapa
tidak, anggota Dewan yang seharusnya menjalankan fungsi kontrol atas eksekutif
untuk mencegah penyelewengan justru bertindak sebaliknya. Praktik korupsi,
kolusi, pemborosan, kesewenang-wenangan, serta tindakan tidak etis yang
melanggar nilai-nilai umum dipertontonkan secara telanjang dan berulang-ulang.
Menurut
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja ICW, Secara umum data Indonesia
Corruption Watch (ICW) dalam riset dari Januari hingga Desember 2004 mengenai
kasus korupsi yang melibatkan anggota Dewan menunjukkan beberapa hal.
Pertama,
dari sisi jumlah kasus, perbuatan korupsi yang melibatkan anggota DPRD
merupakan jumlah terbanyak, yakni 102 kasus dari total 239 kasus korupsi yang
muncul di sebagian besar wilayah di Indonesia. Data di atas sekaligus hendak
menunjukkan bahwa aktor korupsi yang menempati urutan terbesar adalah anggota
Dewan. Data ini paralel dengan hasil survei Transparansi Internasional
Indonesia (TII) pada 2004 yang menempatkan partai politik sebagai lembaga yang
dianggap paling korup. Dengan demikian, terdapat korelasi yang masuk akal
antara kondisi partai politik yang buruk dan perilaku anggota Dewan yang korup.
Kedua,
secara umum terdapat empat modus korupsi DPRD yang dapat kita temukan di hampir
semua kasus.
Modus
pertama adalah menggelembungkan batas alokasi
penerimaan anggota Dewan atau yang lebih akrab disebut mark-up. Dikatakan
sebagai praktek mark-up karena PP No. 24/2004, PP 37/2006 perubahan kedua, PP
21/2007 perubahan ketiga tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan
Anggota DPRD sebenarnya telah membatasi secara terperinci penerimaan anggota
Dewan yang bisa ditoleransi sesuai dengan tingkat pendapatan asli daerah (PAD).
Modus
kedua adalah menggandakan (redundant) item
penerimaan anggota Dewan melalui berbagai strategi. Strategi yang paling kerap
muncul adalah memasukkan item anggaran yang berbeda-beda untuk satu fungsi.
Misalnya terdapat pos asuransi untuk kesehatan, tapi di pos lain muncul item
tunjangan kesehatan. Padahal kedua pos penerimaan tersebut untuk satu fungsi,
yakni anggaran bagi kesehatan anggota Dewan. Strategi lain adalah menitipkan
pos penerimaan itu pada anggaran eksekutif (pemda). Biasanya item anggaran itu
disebut sebagai bantuan untuk instansi vertikal seperti yang terjadi dalam
kasus dana kapling di Jawa Barat.
Modus
ketiga adalah mengada-adakan pos penerimaan anggaran yang sebenarnya
tidak diatur dalam PP Nomor 24/2004, PP 37/2006 perubahan kedua dan PP 21/2007
perubahan ketiga. Kasus yang paling banyak mencuat dan digugat oleh berbagai
elemen masyarakat adalah alokasi anggaran untuk pos dana purnabakti. Di Jawa
Barat, dana purnabakti lebih populer dengan istilah uang kadeudeuh. Selain dana
purnabakti, fasilitas rumah dinas yang seharusnya hanya diberikan kepada ketua
dan wakil ketua DPRD ternyata digelontorkan untuk semua anggota Dewan.
Modus
keempat adalah korupsi dalam pelaksanaan program kegiatan Dewan. Dari
aspek tindakan, korupsi jenis ini adalah korupsi yang paling telanjang dan
nyata. Ini sebagaimana telah dilakukan oleh anggota DPRD Kota Padang yang telah
memalsukan tiket pesawat perjalanan dinas (SPJ fiktif) hingga mencapai Rp 10,4
miliar. Hal ini juga terjadi pada DPRD Kabupaten Sukabumi yang memalsukan
billing tiket pesawat, hotel, stempel, makanan dan minuman, bensin yang
akhirnya merugikan negara sebesar Rp. 4,5 Milyar. Sedangkan di Kota Sukabumi
untuk anggaran DPRD yang ada di Setwan juga turut memanipulasi laporan keuangan
(SPJ Fiktif) sebesar Rp. 165 juta.
Di antara
keempat modus korupsi tersebut, modus keempat bisa dianggap yang paling
konvensional dan umum terjadi di berbagai instansi pemerintah. Dalam pengertian
tindakan korupsi dengan cara memanipulasi dokumen pertanggungjawaban penggunaan
APBD hingga seolah-olah sebuah program telah dilaksanakan merupakan perbuatan
yang nyata-nyata melanggar hukum, merugikan keuangan negara, dan terdapat upaya
untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, modus korupsi anggota Dewan yang
pertama hingga ketiga merupakan produk kesepakatan dua pihak (eksekutif dan
legislatif) dengan memanfaatkan dua hal, kewenangan yang dimiliki untuk membuat
peraturan dan celah perundang-undangan yang tumpang-tindih.
Korupsi model
ini dianggap seolah-olah bukan merupakan tindakan korupsi karena telah dinaungi
dalam sebuah peraturan daerah (perda) yang legal. Padahal, dari sisi materi
peraturan, banyak terdapat penyimpangan (corrupt), baik terhadap peraturan yang
lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan,
kepantasan umum, atau kelaziman. Karena dipayungi dalam bentuk peraturan,
korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau
legalisasi korupsi. Mengingat legalisasi penyimpangan didasari kesepakatan dua
pihak pengelola daerah, korupsi yang telah menyeret beratus-ratus anggota Dewan
itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab pihak
eksekutif (baca: kepala daerah).
Untuk
mengantisipasi dan mengikis korupsi agar tidak hanya menjadi lip service, tentu
banyak pihak yang bertanggung jawab. Mereka adalah Partai Politik (Parpol),
Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, akademisi, Alim Ulama, dan Masyarakat. Semua
wajib menjadi mata dan telinga serta tangan dalam pemberantasan korupsi. Semua
kita harus bisa memastikan, pemerintahan dengan system demokrasi dikawal dengan
ketat, akuntabel dan penuh tanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar